Sabtu, 06 November 2010



Minahasa berasal dari kata dasar “ESA” yang berarti “Satu”. Minahasa berkembang dari Malesung ,Maesaan,Minaesaan,Mahasa,Minahasa,yang pada intinya berarti “MENJADI SATU”.Istilah ini dipakai oleh sub-etnis Minahasa yang notabene hidup di ujung utara pulau Sulawesi,untuk pertama kali disebut “MINHASA”(Minahasa) pada abad XVII.Jadi pada pengertian awal,nama “Minahasa” bukanlah nama etnis melainkan “persatuan” dari sejumlah suku / sub-etnis tersebut. Pada perkembangan selanjutnya,pengertian nama “Minahasa” berubah menjadi sebuah komunitas “Bangsa” atau “Etnis”. Sering kali etnis /bangsa/ suku-bangsa minahasa disamakan dengan “Orang Manado” (=orang dari ex Keresidenan Manado atau ex Afdeling Manado) atau Kawanua (orang atau teman sekampung).
Jenis bangsa minahasa :
Bangsa Minahasa adalah semua orang yang termasuk dalam sub-etnis Malesung :
- Tonsea
- Tombulu
- Tondano / Toulour
- Tountemboan
- Tonsawang
- Ratahan-pasan (Pasan Wangko)
- Ponosakan
- Bantik
- Serta Borgo dan Bawontehu

Asal Usul SUKU MINAHASA anak suku TONSEA
Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka manusia diperkirakan mulai menyebar hingga ke pelosok di muka bumi sejak 35 ribu tahun lalu.Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti:
Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek).
Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 .
Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll.

Luas Tanah Air Minahasa

Luas tanah minahasa sekitar 5.220 km2 adalah luas keseluruhan kota manado sendiri luasnya 157,26 km2,kota bitung luasnya 304 km2,kota tomohon luasnya 114,2 km2,kabupaten minahasa selatan luasnya 2.120,80 km2 (tahun 2007 kabupaten minahasa tenggara mekar dari kabupaten minahasa selatan dengan luas 710,83 km2. Jadi luas minahasa selatan tinggal 1.409,97 km2,kabupaten minahasa utara luasnya 918,49 km2,sedangkan luas total kabupaten minahasa induk tinggal 2.100 km2. Dengan demikian luas tanah minahasa adalah 1/40 luas pulau sulawesi.

Rumah Tradisional Minahasa

(Rumah Panggung)
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.

Agama Minahasa
Orang minahasa dahulu kala mempunyai sistem kepercayaan tradisional yang bersifat monotheisme. Agama suku minahasa adalah agama yang memuja adanya satu pencipta yang superior yang disebut Opo Wailan Wangko ,Empung. Agama asli minahasa oleh orang eropa disebut Alifuru,yang memiliki cirri animisme,walaupun hal ini ditolak oleh sejumlah ahli.
Orang minahasa juga mengenal adanya kekuatan semacam dewa,yaitu orang-orang tua yang memiliki kekuatan spiritual maupun yang dihormati dan disegani (para dotu) yang telah meninggal. Mereka ini kemudian disebut sebagai Opo (suku tontemboanmenyebutnya Apo). Sang esa dikenal dengan nama empung,atau Opo Wailan Wangko,Opo Menambo-nembo,Opo renga-rengan,yang bermukim di kasendukan serta dilayani para Opo (dewa).
Disamping dunia manusia di bumi,penduduk percaya ada dunia tengah (kalahwakan) yang didiami para dotu. Para dotu ini menjadi medium manusia di bumi dengan empung di dunia atas. Leluhur awal mempercayai jiwa manusia tidak mati,tapi pergi ke tempat tinggal leluhurnya.
Pada saat bangsa eropa tiba di minahasa,agama Kristen diterima dengan tangan terbuka. Pada mulanya agama Kristen katolik disebarkan oleh misionaris bangsa spanyol dan portugis abad ke 16 dan 17 dan dilanjutkan abad ke 19. Pada saat belanda masuk di minahasa,pemeluk katolik di alihkan menjadi protestan. Penyebaran protestan dilakukan oleh Zendeling (pekabar injil belanda) berkebangsaan jerman dan belanda. Kedudukan kolonial belanda yang bertahan selam 3 abad di minahasa menyebabkan orang minahasa lebih banyak memeluk aliran protestan.

SISTEM KEKERABATAN
Mapalus (tolong menolong). Dalam Mapalus, prinsip yang sama kelihatan yang mana para wanita memikul cangkul, sekop dll. Ketentuan ini bukan berarti wanita mempunyai kedudukan lebih rendah akan tetapi kaum pria mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan rombongan Mapalus itu, dan mereka di haruskan membawa parang, tombak dan alat perang lainnya.
Ketentuan organisasi Mapalus ini di jalankan dengan ketat sama dengan ketentuan adat lainnya. Pada waktu pembentukan pimpinan (dalam bahasa tontemboan Kumeter), sesudah teripilih, pemimpin harus di cambuk oleh salah satu pimpinan di kampung dengan rotan, sambil mengucapkan "sebagaimana kerasnya aku mencambukmu begitu juga kerasnya kau harus mencambuk anggota yang malas dan pelanggar peraturan". Dan ketentuan ini masih berlangsung sampai sekarang di beberapa daerah di Minahasa.
Arti Mapalus telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada mulanya dalam masyarakat kuno, Mapalus masih mempunyai arti yang sama dengan gotong royong karena tanah pertanian masih milik bersama. Akan tetapi karena perkembangan masyarakat selanjutnya, dimana milik perorangan telah tercipta dan menonjol, maka arti Mapalus berubah menjadi tolong menolong. Seperti sekarang setiap anggota Mapalus berhak untuk mendapat bantuan dari anggota anggota lain sebagai jasa karena dia sudah membantu anggota lain dalam melakukan pekerjaan baik di sawah, ladang, rumah dll.

Atraksi Budaya Minahasa

Tari Kabasaran,Simbol Keberanian Suku Minahasa, Tari Kabasaran merupakan tari tradisional Minahasa, propinsi Sulawesi Utara. Tarian ini awalnya menjadi tarian perang. Tarian ini ditarikan oleh beberapa orang lelaki Minahasa. Dalam kesehariannya, para penari Kabasaran bertugas sebagai penari dan penjaga keamanan desa di Minahasa. Namun ketika daerah Minahasa terancam oleh serangan musuh, penari Kabasaran menjadi Waranei, prajurit perang. Berdasarkan adat Minahasa, tidak semua lelaki Minahasa dapat menjadi penari Kabasaran. Yang menjadi penari biasanya keturunan dari sesepuh penari Kabasaran. Karena sifatnya yang turun temurun itulah, setiap penari Kabasaran memiliki sebuah senjata warisan. Senjata warisan itulah yang dibawa oleh penari ketika pertunjukan tari Kabasaran dimulai.
Para penari mengenakan pakaian tenun khas Minahasa berwarna merah dan rias wajah yang terlihat garang. Ketika pertunjukan dimulai, gerak tari Kabasaran dipimpin oleh seorang Tombolu, pemimpin pertunjukan. Seorang Tombolu itu dipilih berdasarkan kesepakatan para sesepuh adat.
Ketika pertunjukan berlangsung, tidak tampak sedikit-pun senyum di wajah para penari. Mulai dari awal pertunjukan, gerakan penari Kabasaran terlihat energik dan menggambarkan sifat keprajuritan. Gerakan mereka semakin terlihat dinamis ketika tabuhan gong dan kulintang terdengar begitu keras.
Dengan membawa pedang di tangan kanan dan tombak di tangan kiri, para penari Kabasaran terlihat seperti orang yang hendak berperang. Sesekali, penari Kabasaran mengayunkan kedua senjata yang ada di tangan mereka sambil melompat dan mengayunkan senjata. Mereka-pun memperlihatkan gerakan berjalan maju-mundur dengan penuh semangat. Di daerah Minahasa, gerak tari Kabasaran dijadikan simbol keperkasaan dan keberanian warga Minahasa melawan musuh.
Gerak tari Kabasaran terlihat garang, namun sesaat sebelum pertunjukan usai, para penari Kabasaran menarikan gerak yang terlihat begitu riang. Gerakan di penghujung pertunjukan ini menjadi simbol kebebasan penari Kabasaran dari rasa amarah usai berperang melawan musuh.
Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak tersebut terdiri dari :
1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat.
2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang.
3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya.

Bahasa
Bahasa daerah Minahasa terdiri dari:
- Tountemboan
- Tombulu Tonsea
- Toulour (Tondano)
- Tonsawang
- Ratahan
- Pasan
- Ponosakan
- Bantik

Perkembangan Suku Minahasa
Sejarah karakter egaliter dan demokratis serta patriotisme dan nasionalisme bangsa minahasa sesuai catatan-catatan yang ada,sudah berlangsung beberapa abad lamanya jauh sebelum kekuasaan kolonial memasuki kepulauan nusantara. Dari struktur sosial dan pemerintahan minahasa,Wanua-wanua (desa) di minahasa mempunyai karakter struktur pemerintahan ibarat ‘rupublik wanua’ yang sangat mandiri (merdeka). Selanjutnya,ada dua catatan sejarah abad ke-17 tentang patriotisme minahasa sebagai satu bangsa dalam sejarah peperangan yang dilakukan oleh bangsa minahasa dengan bangsa spanyol di tahun 1667 dengan kemenangan minahasa,dan pertempuran antara bangsa minahasa dan bangsa bolaang mongodow yang terkenal di dekat tompaso dengan hasil kemenangan bangsa minahasa pada tahun 1679.
Perang bangsa minahasa melawan spanyol di tahun 1667 yang berakhir dengan kekalahan spanyol tersebut adalah juga berkat deplomasi bangsa minahasa dengan bangsa belanda yang pada waktu itu berada di Maluku. Dari hasil kekalahan spanyol terhadap minahasa maka pada tanggal 10 januari 1679 diadakan suatu perjanjian antara dua bangsa yakni bangsa minahasa dan bangsa belanda (VOC). Dari perjanjian tersebut,bangsa minahasa sebenarnya tidak pernah mengakui bahwa minahasa pernah dijajah oleh bangsa belanda. Kedua bangsa adalah sejajar dan sama derajat. Oleh sebab itu perlakuan Belanda terhadap minahasa kurang lebih berorientasi kepada perjanjian tahun 1679 dimana semua aspek pendidikan rakyat sangat menonjol. Patriotisme bangsa minahasa dijaman kolonial diperoleh juga dari catatan-catatan sejarah yakni perang tondano (minahasa) dengan belanda di tahun 1801.
Namun demikian, Di minahasa nasionalisme lokal yang disebut nasionalisme etnis minahasa yang bersumber secara eksklusif etnis Minahasa adalah suatu perkembangan nasionalisme yang spesifik otonom yang disebabkan oleh berbagai faktor proses modernisasi barat,sama seperti modernisasi barat yang mendukung nasionalisme indonesia. Hanya saja perkembangan nasionalisme minahasa telah berlangsung dalam skala yang lebih kecil tetapi ternyata dimulaikan lebih awal dari proses nasionalisme Indonesi.

Pakaian Adat Minahasa

BUSANA WANITA MINAHASA.
Pada mulanya disebut ‘ Karai Momo” ada juga yang disebut “wuyang”pakaian pengantin wanita bagian atas disebut kebaya,dengan model lengan panjang dan lengannya sempit berwarna putih,dihiasi dengan sulaman sujiber bentuk bunga padi dan bunga kelapa dan pada dada sebelah kiri kebaya dilengkapi dengan kembang kaca piring dan bunga melati yang berbau harum.Pada bagian bawah berbentuk lipatan seperti ikan duyung dan agak melebar pada bagian bawah.
BUSANA PRIA MINAHASA.
Terdiri atas dua potong bagian atas dan bagian bawah.Pakaian bagian atas disebut “baniang”,yaitu kemeja yang berlengan panjang memakai kerah ataupun tanpa kerah dan pada bagian bawah sebelah kiri dan kanan dan bagian atas sebelah kiri kemeja memakai saku.Pada bagian bawah dari lengan dan bagian depan kemeja dihiasi dengan sulaman tergantung dari keinginan pemakai.Motifnya padi,kelapa dan ular naga.
Celana pada pengantin pria panjangnya sampai ketumit ,makin kebawah makin lebar.Berwarna hitam tidak dihias. Mempergunakan ikat pinggang dari kulit ular patola yang berbentuk mahkota pada bagian depannya.
PAKAIAN ADAT BOLAANG MONGONDOW

BUSANA WANITA.
Pakaiannya berupa “salu” semacam kebaya dan sarung berkotak-kotak,tetapi ada pula yang menggunakan secara kombinasi. Baju salu tradisional yaitu kain yang panjangnya sama dengan 2 kali panjang baju,bagian depan dilipat namun saat ini baju salu bagian atas menggunakan kancing belakang.Kain sarung dilipat pada bagian depan. Pada bagian kepala dibuat sanggul/konde dengan perhiasan bulu burung, bunga, sunting dari emas atau perak,sehingga berbentuk rantai kembang.
BUSANA PRIA.
Pengantin laki-laki menggunakan kemeja model baju kurung dan celana bentuk piyama dengan warna warni mencolok.Tetapi ada juga yang menggunakan pakaian wanita maupun pria dengan warna yang sama tutup kepala menggunakan “papodong”, “magilenso” atau “kopiah”.Pada bagian pinggang menggunakan ikat pinggang,pending dan keris.
PAKAIAN ADAT SANGIHE TALAUD
Pakaian adat suku bangsa Sangihe Talaud sejak dahuu menggunakan bahan serat kofo. Benang kofo ditenun dengan alat tenun yang disebut “kahuwang”.Pakaian adat Sangihe Talaud disebut “laku tepu”.Laku artinya pakaian ,sedang tepu artinya agak sempit,maksudnya pakaian yang bagian lehernya agak sempit atau tidak terbuka.
BUSANA WANITA.
Laku tepu yang bentuknya memanjang dari leher sampai di betis ,merupakan baju terusan terbuat kain kofo.Pada bagian leher terdapat lipatan berbentuk segitiga atau huruf V,sebesar ukuran kepala agar mudah memakainya. Kahiwu atau kain sarung.Kahiwu juga dibuat dari kain kofo,merupakan pelapis bagian dalam yang diikat dipinggang.Kahiwu mempunyai lipatan seperti kain(wiron)terletak agak kekiri disebut “leiwade”.Lipatan untuk rakyat biasa berjumlah 5 lipatan dan untuk bangsawan 7 atau 9 lipatan.
Bandang.Bandang ialah selembar kain kofo yang berukuran panjang 1,5 meter dengan lebar kira-kira 5 sentimeter.Pemakaiannya diletakkan di bahu kanan dan ujungnya diikat pada pinggang sebelah kiri.Bandang digunakan oleh wanita biasa,sedangkan wanita keturunan bangsawan menggunakan“kaduku atau animating” ,adalah selembar kain kofo dengan ukuran yang sama seperti bandang,hanya perbedaannya tergantung dari cara mengikat.Kaduka atau animating kegunaannya untuk memperindah Laku Tepu dan melambangkan derajat sosial masyarakat.
Boto Pusige (konde) atau sanggul Pusige artinya ubun-ubun kepala.Boto Pusige artinya sanggul yang terletak pada ubun-ubun kepala wanita.Sanggul ini biasanya dibuat dari rambut wanita sendiri diatas kepala.Semakin tinggi Boto Pusige semakin indah. Untuk menjaga agar Boto Pusige tetap kuat digunakan Sasusu Boto (tusuk Konde) yang ditusukkan dari sebelah kanan sampai kiri.

BUSANA PRIA.
Pakaian laki-laki juga disebut Laku Tepu,perbedaannya bagian lehernya berbentuk setengah lingkaran,berlengan panjang dan panjang pakain sampai ketumit.Laku tepu yang panjang berfungsi menutupi tubuh,melambangkan keagungan masyarakat Sangihe Talaud.
Paporong atau pengikat kepala menggunakan bahan dari kain kofo dengan ukuran 1 kali 1 meter.Paporong dibentuk segitiga sama sisi,alasnya dilipat tiga kali dengan lebar 3 sampai 5 sentimeter.Paporong diikat pada bagian kepala menutupidahi.Paporong untuk laki-laki disebut paporong lingkaheng dan untuk keturunan bangsawan disebut paporong Kawawantuge.
Popehe(pengikat pinggang), bahan dari kofo ukuran 1,5 sentimeter panjang dan lebar 5 cm.Popehe diikat pada pinggang pengantin pria pada sebelah kiri dan ujungnya terurai kebawah.Fungsinya memperindah laku tepu sekalgus mengatur Laku Tepu apabila kepanjangan dapat diatur dengan menarik keatas.Popehe juga memiliki makna membangkitkan semangat dalam melaksanakan tugas ataupun mengatasi berbagai rintangan.
PAKAIAN ADAT GORONTALO

BUSANA WANITA.
Pakaian adat suku Gorontalo yang digunakan oleh pengantin wanita terdiri atas 2 bagian yaitu bagian bawah yang disebut “Biliqu” dan bagian atas yang disebut “Paluwala”.
Biliqu berupa busana (Blus dan Rok panjang).Biliqu berasal dari kata Biluato artinya diabgkat,yang memperlihatkan Ayuwa Popoli yakni sifat dan pembawaan dilingkungan keluarga.Paluwala berasal dari kata piloluala yang berarti sumber.
Atribut Biliqu dan Paluwala :
- Baya lo boute : Berupa ikat kepala yang memberikan symbol bahwa wanita telah didiikat dengan suatu tanggung jawab
- Tuhi-tuh : Artinya galak yang terdiri atas 7 buah ,mengibaratkan pada 2 kerajaan Hulontalo dan limutu (Gorontalo dan Limboto ) dan 5 kesatuan kerajaan yaitu Tuwawa, Limutu, Hulontalo Bulonga dan Atingola.
- Lai-lai : Bulu unggas yang diletakkan diatas ubun-ubun,dikiaskan pada kehalusan budi pekerti dimana seseorang harus memiliki budi pekerti yang luhur sebagaimana kehalusan dari bulu-bulu unggas
- Buohu Wulu wawu dehu : Kalung bersusun,menggambarkan ikatan kekeluargaan
- Kecubu (lotidu) : Hiasan di dada yang menggambarkan suatu sifat taqwa, segala cobaan diterima dengan senang dan iman yang kuat
- Etango : Ikat pinggang ,ini memberi isyarat makan jangan terlalu kenyang
- Pateda : Gelang tangan,menggambarkan tindakan disesuaikan dengan hokum
- Pe-tu : Yang membalut ujung lengan baju,memberi arti tangan harus dimanfaatkan pada karya yang berguna
- Luobu : Hiasan kuku menggambarkan kecekatan dan ketelitian dalam melaksanaka suatu pekerjaan
- Tambio : Hiasan dibaju yang menggambarkan kekeluargaan luas yang penuh dengan kedamaian.
BUSANA PRIA
- Laapia-bantali-sibii : Tudung makuta.Letaknya menjulang keatas dan terkulai kebelakang berbentuk bulu unggas. Maknanya sang pria walaupun kedudukannya tinggi harus berperangai halus dan lembut seperti bulu unggas.
- Bako : Hiasan yang melilit pada leher baju dengan 2 tali terurai, pengertiannya sama dengan kalung bersusun pada wanita
- Pasimeni : Hiasan dibaju yang menggambarkan kekeluargaan luas yang penuh dengan kedamaian.
11. Pernikahan Suku Minahasa
Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Bacoho (Mandi Adat)
Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.
Lumele’ (Mandi Adat):
Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.
Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya. Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.
Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan
Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.